Jumat, 04 Februari 2011

Siapakah Ayahmu?

Seorang dosen Sekolah Alkitab bersama isterinya tengah melakukan perjalanan di Gatlinburg, Tenesse.
Mereka mampir di sebuah retauran untuk makan pagi. Restaurannya lumayan penuh dan pak Dosen merindukan sebuah makan pagi yang tenang, nyaman, dan sedap.

Tengah makan, mereka melihat seorang pria berambut putih, sedikit menyolok, pindah dari satu meja ke meja lain, berbicara sepatah dua patah kata dengan para tamu.
Pak Dosen berbisik kepada isterinya, "Mudah-mudahan pria itu tidak mampir ke meja kita. Risih!"
Tapi pria itu mampir juga. Dengan suara ramah, ia memberi salam, "Dari mana kalian?"
"Oklahoma," jawab sang dosen.
"Selamat datang di Negara bagian Tennesse," kata orang asing itu, "Apa profesi anda?"
"Saya mengajar di Sekolah Alkitab" jawab sang Dosen.
"Ooo, Anda mengajar pendeta bagaimana berkotbah? Wah, saya punya kisah bagus buat anda."
Tanpa diundang, pria asing ini duduk di meja mereka.

"Anda lihat gunung itu?", ia menunjuk lewat jendela resaturan. Di lembah gunung itu, ada seorang anak yang lahir dari ibu yang tak menikah. Sangat berat bagi anak itu untuk berkembang, sebab ia lahir sebagai anak haram. Orang selalu bertanya kepadanya, "Eh, siapa Ayahmu?"
Di sekolah, mereka merecokinya.
Di pasar, di toko kelontong, orang menanyakan pertanyaan yang sama, "Siapa, sih Ayahmu ?"
Pertanyaan ini sangat menyakitkan hatinya. Ia seringkali sembunyi saat istirahat sekolah. Ia tidak suka pergi ke tempat umum, untuk menghindar dari pertanyaan ini, "Siapa sih Ayahmu?"

Tatkala usianya 12 tahun, seorang pendeta baru melayani di Gereja Lokal. Anak ini punya kebiasaan yang diketahui semua orang.
Pada waktu doa berkat, anak ini akan segera menyelinap keluar, supaya tidak perlu salam - salaman. Sebab ada saja yang bertanya, "Siapa sih Ayahmu?"

Tapi hari Minggu itu, pak pendeta baru, menyampaikan berkat dengan sangat cepat, sehingga anak ini terperangkap tak sempat keluar Gereja sebelum yang lainya keluar.
Nah, berdirilah ia di barisan yang akan menyalami pak pendeta baru ini. Di pintu, pak pendeta memegang bahunya dan bertanya ramah, "Nak, siapakah Ayahmu?"
Seluruh ruang kebaktian tiba - tiba hening. Semua mata memandang kepada anak ini. Semua berharap mendengarkan jawaban dari anak ini saat pertanyaan diajukan, "Siapa Ayahmu?"

Pendeta baru ini ternyata cukup peka. Ia segera merasakan ada sesuatu yang kurang beres. Dan pasti Roh Kudus ikut ambil bagian memberi hikmat padanya, dan terluncurlah dari bibirnya ucapan kepada anak laki yang ketakutan ini...
"Tunggu sebentar!", katanya, "Aku tahu siapa engkau... Aku bisa melihat persamaannya begitu jelas... Begitu mirip...", katanya dengan suara yang sangat nyaring.
"Kamu anaknya Allah!"
Pendeta itu menepuk - nepuk bahu sang anak, dan berkata, "Nak, warisanmu luar biasa, pergi dan claim warisan itu!"
Dengan kata - kata ini, sang anak untuk pertama kali dalam hidupnya, tersenyum begitu lega. Ia meninggalkan Gereja malam itu sebagai anak yang diperbaharui. Ia bukan yang dahulu lagi.

Kini, tiap ada orang bertanya kepadanya, "Siapakah Ayahmu?"
Dengan mantap dan percaya diri, ia akan berkata, "Saya anaknya Allah!"

Pria berambut putih itu bangkit dan bertanya kepada pak dosen, "Cerita hebat ya?", sang Dosen mengangguk berulang - ulang, karena cerita itu memang kisah hebat.

Pria berambut putih itu meninggalkan restauran, namun sebelumnya berkata, "Tahukah Anda, kalau saja pendeta itu tidak mengatakan bahwa saya adalah anaknya Allah, masa depan saya pasti hancur tak keruan."

Pak Dosen dan isterinya masih tercengang - cengang. Mereka minta bon pembayaran dari pelayan dan bertanya apakah pelayan restauran kenal pria berambut putih itu.
"Tentu saja, semua orang kenal beliau. Beliau adalah bapak Ben Hooper, beliau mantan Gubernur Negara Bagian Tennesse."

_____________________________________________________


Diambil berdasarkan kisah nyata
Dikisahkan oleh Dr Fred Craddock
Dosen Mata Kuliah Homeletik,
di Sekolah Tinggi Theologia Emory - Atlanta, USA

Sabtu, 15 Januari 2011

Learning from Butterflies

Seseorang menemukan kepompong seekor kupu-kupu. Dia duduk dan mengamati selama beberapa jam kupu-kupu dalam kepompong itu ketika dia berjuang memaksa dirinya melewati lubang kecil itu. Kemudian sang kupu-kupu berhenti membuat kemajuan. Kelihatannya dia telah berusaha semampunya dan dia tidak bisa lebih jauh lagi.

Akhirnya orang tersebut memutuskan untuk membantunya. Dia ambil sebuah gunting dan memotong sisa kekangan dari kepompong itu. Kupu-kupu tersebut keluar dengan mudahnya. Namun, dia mempunyai tubuh yang gembung dan kecil, serta sayap-sayap yang mengerut. Orang tersebut terus mengamatinya, karena dia berharap bahwa pada suatu saat, sayap itu akan mekar dan melebar sehingga mampu menopang tubuhnya. Sayang, semuanya tak pernah terjadi.

Kenyataannya, kupu-kupu itu menghabiskan sisa hidupnya merangkak di sekitarnya dengan tubuh gembung dan sayap-sayap mengerut. Dia tidak pernah bisa terbang. Yang tidak dimengerti dari kebaikan dan ketergesaan orang tersebut adalah bahwa kepompong yang menghambat dan perjuangan yang dibutuhkan kupu-kupu untuk melewati lubang kecil tersebut adalah cara Tuhan untuk memaksa cairan dari tubuh kupu-kupu itu ke dalam sayap-sayapnya. Sedemikian sehingga dia akan siap terbang begitu dia memperoleh kebebasan dari kepompong tersebut.

Kadang, perjuangan adalah yang kita perlukan dalam hidup kita. Jika Tuhan membiarkan kita hidup tanpa hambatan, itu mungkin malah melumpuhkan kita. Kita mungkin tidak sekuat yang semestinya kita mampu. Kita mungkin tidak pernah dapat terbang.

Saya memohon kekuatan, dan Tuhan memberi saya kesulitan-kesulitan untuk membuat saya kuat.

Saya memohon kebijakan, dan Tuhan memberi saya persoalan untuk diselesaikan.

Saya memohon kemakmuran, dan Tuhan memberi saya otak dan tenaga untuk bekerja.

Saya memohon keteguhan hati, dan Tuhan memberi saya bahaya untuk diatasi.

Saya memohon cinta, dan Tuhan memberi saya orang-orang bermasalah untuk ditolong.

Saya memohon kemurahan/kebaikan hati, dan Tuhan memberi saya kesempatan-kesempatan.

Saya tidak memperoleh yang saya inginkan, saya mendapatkan segala yang saya butuhkan.

Hidup ini memang penuh dengan tantangan.

Tapi justru dengan tantangan itulah Tuhan membentuk kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

_____________________________________________________


Sumber : Majalah Paras’ No.20 edisi Tahun II Mei ’05